Segregasi dan Polarisasi Sosial di Perkotaan
Kota merupakan
tempat bertemunya berbagai jenis masyarakat yang memiliki berbagai ideologi
yang berbeda, etnis yang berbeda dan kepentingan yang berbeda. Masyarakat kota
merupakan masyarakat yang multikultur. Mereka hidup saling berdampingan
walaupun terdapat berbagai macam perbedaan. Namun juga terdapat masyarakat yang
hidup mengelompok berdasarkan ideologi yang sama atau etnis yang sama dalam
suatu wilayah. Hal ini biasanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki ikatan
yang kuat anatara anggota masyarakatnya. Contoh kelompok masyarakt yang yang
memiliki ikatan yang kuat adalah masyarakat Madura, etnis Cina, etnis Arab dan
sebagainya.
Masyarakat tersebut memiliki ikatan yang kuat berdasarkan
nilai-nilai dan ideologi yang dimiliki oleh masing-masing kelompok masyarakat
yang di bawa dari daerah asalnya. Masyarakat yang berkelompok seperti ini
biasanya memiliki solidaritas yang tinggi antar anggotanya. Memiliki hubungan
relasi yang kuat, karena memiliki kesadaran akan kesamaan tempat kelahiran dan
kesamaan sejarah. Kesamaan-kesamaan natural tersebut memiliki kekuatan
tersendiri dalam membangun hubungan sosial dengan komunitasnya. Mereka akan
saling membantu dan bekerja sama dalam berbagai aktivitas, khususnya dalam aktivitas-aktivitas
ekonomis.
Mereka cenderung mengutamakan komunitasnya daripada kelompok
masyarakat lain. Selain itu masyarakat juga dapat disatukan dengan kesamaan
kepentingan. Walaupun masyarakat yang didalamnya berasal dari etnis yang
berbeda namun memiliki kepentingan yang sama maka masyarakat tersebut akan
bersatu untuk mewujudkan kepentinga-kepentingan tersebut. Biasanya mereka
tergabung dalam suatu organisasi.
Organisasi tersebut menampung
aspirasi-aspirasi anggota yang memiliki kepentingan yang sama, sehingga
aspirasi-aspirasi tersebut semakin menguatkan suatu organisasi untuk mencaoai
tujuan. Hal ini juga memerlukan adanya kepercayaan (trust) antara satu dengan yang lainnya untuk melakukan kerjasama.
Kepercayaan tersebut akan membangun perspektif bahwa dengan menyatukan fikiran
dan tenaga mereka mampu mewujudkan tujuan kepentingan dengan lebih mudah.
Hal
inilah yang disebut dengan segregasi sosial. Masyarakat di satukan oleh etnis,
ideologi maupun kepentingan dalam suatu kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi
sosial. Fenomena segregasi lainnya adalah pada era post modern telah banyak
dibangun pusat-pusat kegiatan ekonomi berbasis high-tech dan munculnya komunitas berpagar (gated communities) diantara kemiskinan perkotaan. Hal ini
menunjukkan kesenjangan dan perbedaan yang sangat mencolok antara ruang
perkotaan yang kaya dan ruang perkotaan yang miskin. Di sinilah terjadi
segregasi secara spasial.
Munculnya kawasan-kawasan baru tersebut menggantikan
lahan yang semula ditempati orang miskin untuk diubah menjadi kawasan elit dan
mewah baik yang terjadi di pusat kota maupun di kawasan pinggiran. Proses
rehabilitasi dan urban renewal inilah
yang disebut sebagai gentrifikasi yang pada akhirnya ruang-ruang perkotaan itu
dimanfaatkan oleh mereka yang berpenghasilan tinggi menjadi real estate. Realitas tersebut merupakan
ciri-ciri fragmentasi kota. Konsep fragmentasi kota tidak terlepas dari konsep
segregasi baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu dapat diartikan
sebagai penciptaan pembagian spasial (spatial
divide) menjadi beberapa kelompok manusia. Fenomena ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya bangunan-bangunan elit yang berdampingan dengan perumahan
kumuh atau dengan melihat perumahan-perumahan elit yang sangat tertutup, yaitu
perumahan-perumahan yang berada pada suatu lokasi yang tertata rapi dan
memiliki kualitas keamanan yang baik. Perumahan-perumahan ini hanya memiliki
satu gerbang utama yang dijaga secara ketat dan hanya orang-orang tertentu yang
dapat memasuki kawasan tersebut. Selain itu dalam kawasan tersebut juga
dilengkapi dengan berbagai infrastruktur yang disediakan untuk melayani
orang-orang yang tinggal disana, seperti tempat perbelanjaan, restoran, kolam
renang atau taman bermain, tempat olah raga dan layanan kesehatan serta banyak
lagi lainnya.
Segregasi di
perkotaan tidak lepas dari polarisasi sosial. Kelompok-kelompok yang terbentuk
dari masyarakat yang tersegregasi akan memunculkan polarisasi sosial di
dalamnya, karena kelompok-kelompok masyarakat tersebut akan saling bersaing
untuk memperebutkan ruang, kekuasaan dan sumber daya lainnya. Kompetisi
tersebut dikarenakan semakin padatnya penduduk kota, sehingga ruang menjadi
sangat penting karena luas tanah tidak dapat mengalami pertambahan.
Selain itu
setiap kelompok saling memperebutkan kekuasaan untuk dapat menjadi
superordinat, sehingga mampu melakukan doninasi terhadap kelompok subordinat.
Maka kelompok-kelompok masyarakat tersebut akan semakin gigih untuk
berkompetisi, karena jika tidak mampu bersaing maka suatu kelompok akan
tersingkir dan hanya menjadi kelompok tertindas. Fenomena polarisasi tersebut
sangat banyak di temui, diantaranya adalah fenomena pertentangan antara
masyarakat etnik Cina dan Jawa. Yaitu pertentangan yang disebabkan oleh majunya
perekonomian masyarakat etnik Cina di Jawa. Masyarakat Jawa menganggap bahwa
etnik Cina telah menguasai perekonomian di Jawa dan masyarakat Jawa tidak dapat
berkembang, sehingga hanya sebagai masyarakat bawah. Maka masyarakat Jawa
merada di dominasi oleh masyaarakt etnik Cina. Di berbagai studi etnisitas yang
dilakukan oleh Cohen pada tahun 1974 dinyatakan : penduduk asli cenderung lebih
malas di daerahnya sendiri dibandingkan dengan pendatang sebagai kelompok
kepentingan.
Penduduk asli merasa lebih tenang secara psikologis karena merasa
memiliki hak-hak istimewa, dan cenderung memiliki sikap mempertahankan status
quo. Akibatnya, mereka kurang agresif, cenderung manja, dan memilih-milih
pekerjaan. Sikap mental ini dianggap memiliki fungsi penting dalam membentuk
penduduk asli menjadi komunitas kelas dua, malahan menjadi marginal. Hal inilah
yang menyebabkan masyarakat etnik Cina mampu bersaing dengan masyarakat Jawa
walaupun bukan sebagai pemilik wilayah. Namun etnik Cina mampu menjadi
Superordinat dengan etos kerja yang dimiluki. Selain itu juga terdapat fenomena
polarisasi sosial yang di dasarkan pada status sosial yaitu akibat gentrifikasi
kawasan semula bersifat kumuh menjadi kawasan yang bernilai tinggi yang dihuni
oleh kalangan menengah ke atas.
Masyarakat miskin termarginalkan dan harus
berpindah dari kawasan yang digentrifikasi, sehingga meningkatnya tunawisma,
dan mempercepat fragmentasi kota secara sosial dan geografis serta meningkatkan
kesenjangan sosial. Fenomena ini salah satunya adalah pembanguna perumahan
Laguna di daerah Mulyosari, Surabaya. Pembangunan perumahan tersebut telah
menggusur perumahan kumuh masyarakat nelayan dan pemulung, sehingga para
nelayan dan pemulung harus meninggalkan pemukimannya. Masyarakat nelayan dan
pemulung hanya dapat mengikuti kebijakan tersebut karena tidak memiliki power
untuk melawan. Walau bagaimanapun masyarakat kecil tetap menjadi masyarakat
yang termarjinalkan dan para pemilik uang yang mampu melakukan kontrol dan
dominasi.
Referensi:
Hajarahmad. 2010. Ruang
Perkotaan yang memisahkan diri. (Online). (http://hajarahmad.blogspot.com/2010/01/ruang-perkotaan-yang-memisahkan-diri.html
Diakses 14 Maret 2010)
Hamka Hakin. 2010. Menajemen
Konflik dalam Tatanan Sosial. (Online). (http://metronews.fajar.co.id/read/84499/19/manajemen-konflik-dalam-tatanan-sosial
Diakses 14 Maret 2010)